Minggu, 21 Juni 2015

The Golem And The Jinni : Cinta Antara Dua sosok yang Berbeda



Judul : The Golem and The Jinni
Penulis : Helene Wecker
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Genre : Fantasi
Kategori : Buku Bantal

Sinopsis

Chava: golem, terbuat dari tanah liat, dihidupkan oleh rabi yang terlibat ilmu sihir hitam. Ketika majikan Chava, sang suami yang memesan pembuatan dirinya, tewas dalam perjalanan laut dari Polandia, sang golem pun bagai layang-layang putus ketika tiba di New York pada tahun 1899.

Ahmad: jin, terbuat dari api, lahir di padang pasir Suriah. Ia dijebak penyihir Beduin sehingga terkurung dalam guci tembaga berabad-abad lamanya,sampai tak sengaja dibebaskan di Lower Manhattan. Meskipun tidak lagi terpenjara, Ahmad tak sepenuhnya bebas––gelang besi mengikatnya ke dunia fisik.

Kedua makhluk ini, dengan kisah masing-masing yang tak terlupakan, membentuk jalinan persahabatan––sampai pada suatu malam, insiden mengerikan membuat mereka terpaksa kembali ke dunia masing-masing. Namun, ancaman dahsyat akan menyatukan Chava dan Ahmad kembali, menantang keberadaan mereka dan memaksa mereka untuk mengambil keputusan luar biasa.

Review

   Ada apa dengan buku fantasi akhir-akhir ini? Saya kok merasakan kalau buku fantasi yang diterjemahkan beberapa bulan terakhir memiliki muatan yang sangat berat. Nggak melulu bercerita soal petualangan atau cinta, tetapi juga mengenai agama, politik, bahkan buku yang saya baca ini membicarakan soal eksistensi Tuhan.

   Bukeeee, sirahku ngelu bar maca iki.

   Sebenarnya, saya nggak kaget lagi kalau ada buku fantasi yang muatannya berat. Dimulai dari trilogi age of five - Trudi Canavan yang ceritanya sangat membekas dalam kepala saya, sampai Elantrisnya - Brandon Sanderson yang tokoh utamanya bikin jejeritan, The Golem and The Jinni bisa dibilang sedikit lebih mudah dipahami dibanding kedua cerita yang saya sebutkan. Kalau Age of Five dan Elantris merupakan jenis High Fantasy yang latar dunianya harus diciptakan di dalam kepala kita sendiri (dan ini membutuhkan usaha ekstras untuk membayangkannya), The Golem and The Jinni mengambil latar di New York pada tahun 1800-an bernuansa klasik.

   Lebih mudah, kan?


   Kita tidak perlu repot membayangkan soal tatanan dunia, tatanan pemerintahan, atau bentuk bangunan yang aneh-aneh dalam novel ini. Ceritanya pun sederhana, tetapi entah kenapa sangat mengena. Bermula dari kehidupan sang Golem, kemudian sang Jin. Hampir pada 200 halaman awal, kehidupan keduanya sama sekali tidak bersinggungan dan bikin saya enggak sabar. Begitu kejadian setelah sang rabi yang menjadi wali Chava meninggal, barulah kehidupan kedua tokoh ini bersinggung dan menimbulkan konflik yang menarik.

   Cita rasa klasik dalam cerita ini sangat kental. Bangunan, pakaian, kelas sosial juga kehidupan di New York di era 1800 tergambarkan dengan sangat baik. Penceritaan soal kelompok pengungsi dari golongan Yahudi maupun Syria yang bermigrasi ke Amerika pun dijabarkan dengan detail. Bagaimana kehidupan antara dua kelompok tersebut dan yang paling saya enggak nyangka ya... penggambaran soal masyarakat yahudinya. :D

   Bagi pembaca yang tidak suka dengan sihir-sihir njelimet serta sistem rumit yang bikin kepala puyeng jangan khawatir, cerita ini benar-benar sederhana. Tidak ada sihir yang rumit, atau pun pemberontakan bergaya distopia yang menggugah emosi. Cerita mengalir lembut, memberikan berbagai macam arti lewat filosofi terselubung, dan cukup membuat perasaan terhenyak karena mendapat umpan-umpan tak terduga soal keagamaan.

   Interaksi antara sang Jin dengan Golem atau pun sang Jin dan Golem dengan lingkungannya sungguh memikat diikuti walau kadang-kadang membosankan. Hal yang paling berat itu ya di 200 halaman pertama, sebelum si Jin dan Golem bertemu. Perjuangan itu mah, gak nyerah di halaman-halaman awal. Selebihnya konflik-konflik sederhana-tapi-mengena antara tokoh-tokoh di buku ini enak aja buat diikuti. Sedikit yang paling mengganggu adalah bagian flashback yang banyak bersliweran di dalam cerita. Kadang, mendadak kita akan disuguhi oleh berbagai macam masa lalu, terutama masa lalu sang Jin yang melompat-lompat.

   Twist terakhir di buku ini kurang nendang bagi saya, terasa agak lempeng gitu. Namun, endingnya lumayanlah, cukup memuaskan. 3 bintang untuk novel ini.

:D :D :D

   btw, saya bertanya-tanya, kenapa Jin-nya bernama Ahmad, ya? Kenapa bukan Jafar atau apa punlah? :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar