Sabtu, 27 Juni 2015

Eleven Minutes : Apa itu Cinta?



Judul : Eleven minutes
Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Sinopsis

Cinta hanya menimbulkan penderitaan…

Demikianlah anggapan Maria, gadis Brazil yang sejak remaja begitu yakin tak akan pernah menemukan cinta sejati dalam hidupnya. Seseorang yang ditemuinya secara kebetulan di Rio de Janeiro berjanji akan menjadikannya aktris terkenal di Swiss, namun janji itu ternyata kosong belaka. Kenyataannya, dia mesti menjual diri untuk bertahan hidup, dan dengan sepenuh kesadaran dia memilih untuk menjalani profesi sebagai pelacur. Pekerjaan ini semakin menjauhkannya dari cinta sejati.

Namun ketika seorang pelukis muda memasuki hidupnya, tameng-tameng emosional Maria pun diuji. Dia mesti memilih antara terus menjalani kehidupan gelap itu, atau mempertaruhkan segalanya demi menemukan “cahaya di dalam dirinya.” Mampukah dia beralih dari sekadar penyatuan fisik ke penyatuan dua pikiran atau bahkan dua jiwa---ke suatu tempat di mana seks merupakan sesuatu yang sakral?

Dalam novel yang sungguh berbeda ini, Paulo Coelho menantang segala prasangka kita, membuka pikiran kita, dan membuat kita benar-benar terperangah.
 

Review

Penasaran dengan novel ini, akhirnya, suatu ketika saya membeli novel ini. Di bab-bab pertama saya membaca novel ini terkesan datar, tidak menyentuh sama sekali atau, membosankan. :|

Untuk beberapa hari atau bahkan bulan? Saya tidak melanjutkan membaca buku ini. Namun, hari ini, kebetulan setelah pikiran saya mulai jenuh untuk melongo ria, saya membuka kembali buku ini dan membacanya.

Seperti kesan pertama, awal melanjutkan cerita ini, datar. Namun, begitu menginjak pertengahan buku, apalagi ketika sosok Maria bertemu dengan Ralf dan Terence, cerita jauh lebih menarik lagi dan menyentuh. Saat membaca buku ini, saya seolah diajak untuk merenungkan apa hakikat cinta dan seks itu sendiri.

Yang saya tahu mengenai seks dan cinta adalah dua hal yang berkaitan tetapi terkadang bisa dilakukan sendiri-sendiri. Di sini, saya seolah diajak untuk mendalami apa itu makna hubungan antar dua lawan jenis dari ketiga karakter utama di sini. Kemudian, agak mengejutkan juga, di sini saya membaca mengenai sadomasokis pula. Gak tak kenapa hal ini dibahas tetapi, membaca bagian ini saya seolah merasa kalau penulisnya sedang menyindir buku-buku BDSM yang keknya sekarang lagi ngetren =))

Saya cukup terhibur dengan hal itu dan menyukai bagian di mana Ralf menjelaskan tentang esensi rasa sakit yang hakiki pada Maria.

Ada beberapa kutipan yang saya suka dalam buku ini,

halaman 176.

"Jika nafsu itu masih suci, lelaki dan perempuan akan jatuh cinta pada kehidupan dan menghargai setiap detik yang mereka lalui, dengan penuh kesadaran dan selalu mensyukuri berkah berikutnya yang akan mereka dapatkan.

Jika orang merasakan nafsu yang murni seperti ini, mereka tidak akan pernah terburu-buru dan bertindak gegabah. Mereka tahu bahwa takdir yang tertulis tak mungkin bisa dihindari, bahwa segala sesuatu yang nyata akan selalu menemukan cara untuk mewujudkan diri. Dan jika saat itu tiba, mereka tak pernah ragu dan tak akan menyia-nyiakan peluang yang ada, mereka tak akan sedetik pun melewatkan saat-saat yang indah, karena mereka menghargai arti penting dari setiap detik kehidupannya."


halaman 256.
"Kepedihan akan sangat menakutkan jika dia menampakkan wajah aslinya, tapi sangat menggoda jika dia hadir berkedok pengorbanan atau kebajikan. Atau sebagai kepengecutan. Sekuat apa pun kita menolaknya, manusia akan senantiasa bersentuhan dengan rasa sakit, bermain-main dengannya, atau bahkan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita."

Menemukan esensi rasa cinta dalam buku ini cukup membuatku geli sekaligus geleng-geleng kepala. Tapi, saya tersenyum dan puas karena rupanya persepsi penulis mengenai cinta tidak jauh berbeda dengan persepsi saya.

Cinta adalah sesuatu yang indah, mengalir lembut, dan tidak menggebu-gebu. Cinta itu membebaskan, bukannya membelenggu dan menindas.

Di sini, saya sedikit mengernyitkan dahi ketika merasakan keegoisan Maria di bagian awal-awal, saat dia berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya. Saya jadi terpikir, bukankah kebanyakan dari kita atau bahkan saya sendiri, lebih selalu memikirkan bagaimana tanggapan orang lain terhadap kita daripada memikirkan bagaimanakah tanggapan diri kita terhadap kita sendiri?

Jadi, apa yang harus dipikirkan? Tanggapan orang lain ataukah diri sendiri? Egoisme diri sendiri ataukah egoisme orang lain?

Walah, saya malah jadi mblunder sendiri kalau udah memikirkan hal seperti ini. Kalau begitu saya akan mengambil solusi sederhana dari pertanyaan ini. Saya akan melakukan yang sekiranya hati saya lebih menerimanya :))

Saya menyukai buku ini, terlepas dari bagian akhir buku ini yang bikin saya rada illfeel. :))

Belajar sedikit mengenai cinta ternyata cukup mengasyikkan. Apalagi, saya juga mendapati makna ketulusan dalam novel ini. Ketulusan dalam cinta? :)

4 dari 5 bintang untuk buku ini :D

:D :D :D :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar