Selasa, 26 Mei 2015

Half Wild : Aku Padamu-lah



Judul : Half Wild (buku #2 Half Bad)
Pengarang : Sally Green
Penerbit : Mizan Fantasi
Genre : fantasi

Sinopsis

Gadis yang dicintai Nathan menghilang. Gadis itu mungkin telah mengkhianatinya. Namun, Nathan ingin mencarinya, menemukannya, dan tak pernah berhenti.

Para penyihir putih terus memburunya. Penyihir hitam tak henti berusaha menyingkirkannya.

Setelah menerima Anugerah dari sang Ayah, Nathan pun menjadi ancaman.
Anugerah itu tak bisa dikendalikannya.
Di tengah perang antara penyihir putih dan hitam, bahaya terbesar yang mengancamnya ada pada dirinya sendiri.

Review

   Sosok Nathan dan Annalise yang saling membelakangi ini sangat menggoda, apalagi dengan latar kebiruan serta pendar perak dan hitam yang pas, sampul bukunya terasa adem-misterius-tapi-unik. Sayangnya..., sampul seindah ini ndak bisa bikin penilaian saya sama cerita di buku ini naik.

   Kesan pertama pas baca prolog buku ini adalah... BERISIK!

   Yap, itu yang saya tangkap dari dialog kebatinan yang terjadi dalam diri Nathan. Mana suara berdengingnya juga dituliskan ampe ada 4 paragraf (yang dibuat terpisah-pisah). Serius, ini bikin saya dongkol ketika baca halaman-halaman awalnya. Makin ke belakang, makin banyak yang bikin saya tambah dongkol. Saya merasakan bahwa kisah Nathan ini rasanya kurang fokus, melompat-lompat dan tidak terarah. (Yang terarah cuma keinginan kuat Nathan buat menolong Annalise yang ditawan sama Mercury, sih).


   Sebelum menolong Annalise, lebih dulu Nathan bertemu dengan seorang pembantu penyihir Hitam, kemudian penyihir hitam lain, dan barulah Gabriel. Nah, kisah antara Nathan dan Gabriel inilah yang rada lama dan panjang. Iya sih, saya bisa merasakan kadar manis antara Gabriel dan Nathan, di mana Gabriel jelas-jelas menyatakan rasa sukanya secara tidak tersirat pada Nathan. Bagian ini nih, yang bikin saya rada... errrrr. Nathan mah biasa-biasa aja dan nganggep Gabriel sebagai teman, tapi... di bagian akhir... mungkin dia bisa goyah.

   Konflik lain yang terjadi di buku 2 ini adalah terjadinya pemberontakan di kalangan penyihir putih. Saya masih belum bisa meraba-raba seperti apa bentuk komunitas antara penyihir putih di inggris atau pun eropa. Katanya, keduanya terpisah, tapi kok... kelihatannya kedua komunitas ini satu dengan kekuasaan mutlak ada di bawah komando penyihir putih inggris? Sepertinya ada yang saya lewatkan (saya berharap nggak ada yang saya lewatkan, sih).

   Dari perkembangan konflik inilah, cerita di Half Wild melebar dan dari sini pula cerita menjerumuskan Ayah Nathan pada suatu kejadian tidak terduga. Di akhir buku, kisah dan sikap Nathan berbalik 180 derajat. Saya masih terbengong-bengong ketika mendapati bahwa cepat sekali si Marcus ini *piiip*. Terlalu gampang malah dia *piiiip-nya*. Masih syok dan nggak percaya saya. Dalam 1,5 buku, dia dewa-dewakan dan dikatakan sebagai penyihir hitam kuat berdarah dingin. Namun, hanya dalam beberapa lembar halaman dengan mudah di *piiiip* sama bocah ingusan cem Annalise? Ya ampun..., gampang amat.

  Saya ngerasa adegan ini rada terlalu dipaksakan, deh. Supaya plot bisa berbalik agar Nathan membenci Annalise dan mungkin... ehm... euh..., semakin dekat dengan Gabriel. Ya..., udah, itu aja uneg-uneg saya soal Half Wild. Berhubung udah ngoleksi 2 buku sebelumnya, jadi mau gak mau musti nyelesaiin sampe buku akhir dan saya nggak berharap apa pun di buku terakhirnya. Saya pasrah sama gaya penceritaannya yang bikin saya keki. Saya pasrah sama ceritanya sendiri yang kadang bikin saya gemes. Lebih-lebih, saya juga pasrah aja dah ama kisah cintanya yang mungkin berbau ke 'itu'. 

   Tentang sihirnya? Ndak ada perubahan yang berarti. Yang lebih aneh lagi, ada, ya..., ramuan sihir yang bisa mempengaruhi teknologi?  Serius? Ini bikin saya pengin nepok jidat beberapa kali. Kadang, ada beberapa bagian tertentu di buku ini yang terlalu dipaksakan fantasinya, sehingga jadinya malah gak masuk akal.

   Fantasi memang nggak masuk akal, tetapi kalau dalam cerita (seperti dalam ulasan tulisan kawan-kawan yang pernah saya baca), suatu fantasi harus masuk akal agar diterima oleh pembacanya. Kalau gak masuk akal gini mah, cuma bikin putar mata dan geleng-geleng kepala. Saya tetap dalam opini saya, kalau buku ini, sebenarnya lebih enak kalau jadi semacam buku distopia atau sci-fic tanpa melibatkan sihir dan segala macam upacara sihir serta ramuan di dalam ceritanya. Sekian.

:( :(

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar