Minggu, 18 September 2016

The Last Ever After : Sejatinya Jahat dan Sejatinya Baik




Judul : The Last Ever After (The School For Good And Evil #3)
Pengarang : Soman Shainani
Penerbit : Buana Sastra
Genre : High Fantasy
Tebal : 700++ halaman


Blurb

Sophie bimbang. Apakah benar, cinta sejatinya adalah Sang Guru? Jika ia menerima pinangan Sang Guru, Kejahatan akan merajalela. Bukankah ia sudah berusaha keras menjadi Baik?

Agatha merasa hubungannya dengan Tedros malah semakin menjauh. Pertengkaran pun mewarnai hari-hari mereka. Hingga meeka menyadari satu persamaan yang menyatukan mereka, Sophie, Mereka bertekad untuk menyelamatkan Sophie.

Misteri demi misteri terungkap dan kebenaran mulai tersibak. Takdir yang menautkan Sophie dan Agatha memang dituliskan dari jauh sebelumnya. Manakah yang akan dipilih Sophie? Tetap bersama Sang Guru dan membiarkan Kejahatan menang? Ataukah memilih membantu Agatha, sahabat terbaiknya, dan Kebaikan untuk menang?

Review
Jangan menilai semua cerita sebelum membaca akhir ceritanya, itu yang saya dapat setelah membaca buku terakhir dari seri The School For Good And Evil-nya Soman Chaini (Yang namanya bikin saya inget nama merk dagang obat herbal yang pernah dibeli sama Ibu saya).

Asli, saya benar-benar terpukau dengan akhir cerita yang begini... --- gimana ya menjelaskannnya. Kalau menyebut cerita ini happy end, ini lebih dari pada Happy End. Sad End? Dih..., sama sekali bukan Sad End. Mungkin kalian bisa menyebutnya yang pertama, tetapi... akhir cerita ini lebih dari pada itu. Ini adalah Awal dari yang Akhir. Sungguh, novel ini layak dibaca bagi siapa pun yang mau baca. Walau tampilannya mengemas mengenai cerita remaja yang berpusat pada cowok-cowok, tapi isinya tidak sedemikian ringan.
Cerita ini mengajak untuk berpikir, merenungi apa itu Jahat dan Baik sejatinya.

Setelah membaca akhir cerita buku ini, saya cuma bisa terbengong dan bolak-balik mandang sampul buku. Saya nggak nyangka, kalau saya bakal menyukai isi buku ini. Dulu banget, saat awal-awal buku pertama terbit, saya skeptis sama ceritanya. Sampulnya yang kurang menarik, blurb cerita yang biasa-biasa saja, dan... isinya tentang SEKOLAH! Iya..., saya sudah apatis dulu dengan cerita-cerita berbau sekolah. Namun, saat buku keduanya terbit, saya pikir ulang untuk membacanya.

Sampul cerita jauh lebih menarik dan nyeni dari pada sampul buku pertama. Blurb­-nya juga menggiurkan, tapi berhubung isi dompet saya sama ngenesnya dengan tabungan saya kala itu, saya milih minjem buku itu dari pada beli. Tapi dalam hati berjanji, kalau buku ini bagus, saya akan beli untuk dikoleksi.

Buku 1 dan 2 bikin saya syok dengan muatan aneh-aneh yang membuat saya berpikir aneh-aneh tentang buku ini. Namun, sekarang, setelah membaca buku 3, saya mulai berpikir ulang mengenai buku-buku yang lalu. Terlepas dari 2 buku sebelumnya yang saya curigai memuat nilai-nilai yang agak diragukan, buku 3 ini adalah penutup sempurna yang melengkapi 2 buku sebelumnya. Ibarat puzzle, buku 3 memperjelas inti dari makna cerita yang dituliskan Soman.

*berasa sok-sokan ngerti*

*Ditimpuk pie buah*

Duh..., saya bener-bener nggak bisa bilang nggak ‘luar biasa’ pada buku 3. Pergulatan hati Sophie dan Agatha terasa lebih kompleks di sini. Mereka memang remaja galau yang lagi mencari jati diri dan meragukan cinta sejati mereka, tapi kegalauan mereka ditulis secara menarik sehingga nggak terkesan monoton atau membuat saya pengin nimpuk keduanya.

Keinginan untuk melawan takdir, yang membuat keduanya justru tenggelam semakin dalam di takdir mereka sendiri. Sophie yang berjuang menjadi baik, tapi pada akhirnya membeku pada kejahatan. Serta Agatha yang meragukan dirinya, tapi malah bersinar di puncak kebaikan. Keduanya tak terduga.

Di antara tokoh-tokoh yang ada, saya paling kasihan sama Sophie. Dia dimanfaatkan sana-sini dan perasaannya dipermainkan sampai lumat. Sang Guru? Jangan tanyakan dia. Tokoh itu memang luar biasa jahat tetapi patut dikagumi, mengingat kepiawaiannya memutarbalikkan fakta yang justru terdengar sangat meyakinkan dan menjebak. Tokoh ini pantas dibenci, tetapi layak juga dipelajari. Sang Guru merupakan karakter yang bisa saja ada di dunia nyata. Sosok yang manipulatif. Kalau Sophie? Dia memang jahat, tetapi penjahat lugu yang manis. Tipe karakter yang sederhana.

Selain karakter-karakter di atas, ada juga karakter-karakter lama dari negeri dongeng. Lucu juga, karena Soman menuliskan mereka dalam usia yang renta dan susah mau apa-apa. Yang LAMA dan Yang BARU. Seolah ingin memaknai, bahwa setiap lembaran selalu ada Tua – Muda yang akan bergantian dalam merajut takdir.

Cerita yang menarik. Humornya walau garing, tetapi terasa renyah juga. Secara keseluruhan, saya suka. Rate 5 bintang untuk cerita ini.

:)) :)) :)) :)) :))



2 komentar:

  1. Wow 5 bintamh, semakin mendesak dorongan untuk membeli dan membaca buku ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belilah di saat yang tepat, Kang. Kemarin denger, ini buku didiskon 30%.

      Padahal au belinya harga penuh TT____TT

      Rekomen lah isinya, menurutku bagus :D

      Hapus